MERAH-PUTIH DAN KAMI
Halo, rek! Dalam rangka memperingati hari pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November ini, berikut sebuah cerpen sejarah yang diilhami dari peristiwa perobekan bendera di hotel Yamato yang sangat ikonik di kota Surabaya. Kota yang juga sangat erat dengan kisah para pahlawan dan pejuang di dalamnya. Selamat membaca!
MERAH-PUTIH
DAN KAMI
Oleh: Nur
Fitriyah
(Diilhami
dari peristiwa sejarah: Perobekan bendera di Hotel Yamato)
DORRR!!!
“Jenderal,
awas!!"
Mataku
terbelalak kaget. Suara letupan peluru itu mengagetkanku. Hampir saja
selongsong peluru sempurna menembus kepalaku. Untung saja rekanku, Sidik
Moeljadi, menyelamatkanku. Kalau tidak tembakan dari Mr. Ploegman tadi pasti sudah menewaskanku.
Sidik
tengah bergelut dengan Ploegman. Perkelahian ini tidak bisa dihentikan lagi.
Sidik berhasil menendang pistol Ploegman jauh-jauh. Aku tahu orang barat itu
kekar dan kuat-kuat. Namun tanpa senjata, mereka sama saja seperti harimau yang
ketinggalan taringnya. Apalagi melawan
kami, orang Indonesia. Yang sudah terbiasa berkelahi dengan tangan bebas. Sidik
berhasil meraih Ploegman. Ia kini sedang mencekik leher Ploegman dengan erat.
Dapat kulihat wajah Ploegman pun memucat. Namun, belum selesai Sidik
menyelesaikan pekerjaannya, tiba-tiba datang para tentara Belanda tadi ikut
melawa.
DORR
!!
DOR
!! DOR!!
Ya Tuhan, kenapa
jadi seperti ini, batinku dalam hati.
*****
Kota
pahlawan bersinar cerah. Jalanan lebih ramai seperti biasa. Ini karena sejak
kemarin, setelah pemerintah mengumumkan Maklumat RI pada 31 Agustus 1945 untuk
mengibarkan bendera nasonal di seluruh wilayah negeri. Para rakyat menyambutnya
dengan suka cita. Mereka ikut memasang sang saka merah putih di mana-mana.
Karena bagi mereka semua dan tentu saja diriku sendiri, hal ini sangat
membanggakan. Dengan melihat bendera negara yang diperjuangkan dengan
mati-matian ada dimana-mana, hal ini mengingatkan kami akan segala perjuangan
kami dalam merebut kemerdekaan dari para penjajah. Bagi kami, sang saka merah
putih bukan hanya sekedar benda mati. Namun juga harga diri, yang harus dijaga.
Tapi,
ketenangan memang tidak abadi. Pagi ini, 19 September 1945, di Kota Surabaya
yang biasanya damai dengan hiruk-pikuk masyarakat tiba-tiba geger. Warga yang
tengah melewati jalan di depan Hotel Yamato dibuat emosi oleh berkibarnya
bendera Belanda di pucuk menara hotel. Padahal, Indonesia sudah merdeka. Lantas
siapa yang telah berani-berani menggantinya?
Jalan
Tunjungan, tempat dimana Hotel Yamato berdiri ini pun sekarang ramai dikerumuni
rakyat. Mereka beram. Benci sekali melihat bendera belanda berkibar di atas
sana. Termasuk aku, yang ikut masuk ke dalam kerumunan ini. Aku dan
rekan-rekanku, Sidik dan Hariyono, berusaha merangsek ke depan barisan.
“Apa-apaan ini!!”
“Kurang
ajar!!”
“Mereka
sama saja telah meremehkan kita!”
Dapat
kudengar banyak umpatan dan makian dari para rakyat yang tidak terima. Sungguh,
siapa yang telah berani menurunkan bendera kebanggaan kami.
“Jenderal
Soedirman, dari sumber warga sekitar, ternyata bendera ini telah berkibar sejak
tadi malam. Antek Londo, Mr. Ploegman yang menurunkan perintah,” Hariyono
seolah bisa membaca pikiranku, menjawab kebingunganku.
“Bagaimana
ini Jenderal? Kita tidak bisa tinggal diam!” Sidik menuntut tanggapan dariku.
“Hhmm,
ayo kita masuk, aku tahu para Londo itu pasti ada di dalam,”ucapku.
“Tapi
Jenderal? Itu bahaya. Kita hanya bertiga. Sebaiknya kita menunggu di luar,”
Hariyono menjawab cemas.
“Cak
Har, kita ini pejuang. Arek Suroboyo.
Jangan takut, selama bersama kita akan menang. Para londo itu tidak akan bisa menghentikan
kita,” Sidik membalas keraguan Hariyono.
“Sidik
benar. Kita juga tidak bisa hanya berdiam di sini Hariyono. Ayo!”
Kami
bertiga pun merangsek masuk ke dalam hotel. Dapat kulihat Ploegman dan para
bawahannya sedang asik mengobrol di aula. Mereka kaget dengan kedatangan kami
yang tiba-tiba.
“Wah-wah,
lihat siapa ini yang datang, Jenderal Soedirman yang terkenal itu? Ada apa kau
kemari bung?” tanya Ploegman dengan nada mengejek.
“Tidak
usah bertingkah bodoh Ploegman! Apa maksudmu mengganti bendera merah-putih kami
dengan bendera merah putih birumu itu!” Sidik menyelaku menjawab.
Aku
melirik ke arah Sidik, memintanya tenang.
“Mr.
Ploegman, langsung saja, sebelum kami bertindak jauh, saya minta kepada anda
untuk mengibarkan kembali bendera kami. Tolong jangan memancing keributan.
Indonesia telah merdeka. Hanya bendea merah-putihlah yang bisa berkibar di
sini!” pintaku tegas padanya.
“Hahaha,
jangan bermimpi bung. Kau tahu kedatanganku di sini untuk mengembalikan
Indonesia ke tangan jajahan Belanda kembali. Dan dengan mengibarkan bendera
Belanda kami, ini hanyalah langkah awal,” jawab Ploegman enteng.
“Kau
yang bermimpi! Kami rakyat Indonesia tidak akan bisa kau bodohi lagi!
Kembalilah ke asalmu dan bawa bendera itu bersamamu,”Hariyono ikut bicara.
“Jaga
ucapanmu Inlander! Sejak dulu kau dan teman-teman pribumimu itu hanyalah
manusia rendah. Kalian tidak akan bisa menang melawan kami!” Ploegman mulai
emosi.
“Kau
yang jaga ucapanmu! Kibarkan kembali bendera kami atau kami akan,”
‘AKAN
APA HAH?! Banyak omong, bicaralah dengan pistolku ini,”
Ploegman
menyela ucapanku dan mengarahkan pistol ke arahku.
DOR!!
“Jenderal,
awas!!”
***
Untung
saja Sidik menyelamatkanku tadi. Kini Sidik tengah bergelut dengan Ploegman
sendiri. Namun, tiba-tiba para tentara Belanda lainnya turut membantu dan mengarahkan
pistol ke arah kami bertiga. Namun lagi-lagi
dengan gagah berani, Sidik menyelamatkan kami. Ia menghalau para tentara
Belanda itu.
“Jenderal, pergilah keluar bersama Hariyono!
Akan kutahan mereka! Cepat!” dengan sisa tenaga Sidik berteriak.
Melihat
keadaan yang memang terdesak, tiga lawan belasan orang, Hariyono pun paham dan langsung
menarik tanganku untuk berlari ke luar. Sesaat sebelum kami meninggalkan ruang
ini, aku menengok ke belakang. Kulihat Sidik terkena tebasan salah satu tentara
yang membawa pedang. Rasanya berat sekali meninnggalkannya berjuang sendirian,
namun Hariyono terus menarikku kabur keluar. Tidak memberi kesempatan untuk
bersedih.
Saat
akhirnya kami berhasil sampai di luar hotel, dapat kulihat kericuhan di sini
juga memuncak. Semakin menjadi. Para rakyat semakin ramai berkumpul. Bahkan
dapat kulihat beberapa dari mereka berusaha naik ke atas hotel, sepertinya
ingin mengganti bendera itu sendiri.
Melihat
ini, Hariyono pun tak sabar lantas ikut memanjat. Ia menyuruhkudiam di sini dan
berlindung. Mana mungkin aku hanya diam?
“Jenderal,
tolong bersembunyilah! Keselamatan Jenderal lebih penting. Kalau orang-orang
Londo itu tidak mau mengganti bendera di atas sana, biar saya sendiri dan para
pemuda lainnya yang melakukannya. Saya akan melanjutkan perjuangan Sidik.
Jenderal pergilah ke tempat aman bersama para rakyat di sana,” Serunya sembari
langsung berlari dan memanjat tembok.
Di
sini bersama para rakyat lainnya, dapat kulihat Hariyono sangat lincah naik ke
atas bangunan hotel bersama para pemuda itu. Saat sampai di puncak, ia hampir
bersamaan sampai bersama seorang pemuda, yang kuketahui namanya dari kerumunan
ini adalah Koesno Wibowo. Hariyono dan Kusno, mereka sampai bersamaan di
puncak.
Saat
baru menarik bendera yang berwarna biru dengan giginya, Hariyono tampak sangat
kelalahan. Benar saja, ia baru saja melarikan diri bersamaku dari kejaran para
tentara Belanda dan langsung memanjat gedung. Hariyono tentu sangat letih.
Koesno pun mengambil alih upaya perobekan bendera. Warna biru di bendera itu
dibuangnya sehingga hanya menyisakan merah dan putih.
Para
rakyat pun langsung berteriak senang dan penuh haru. Akhirnya bendera
merah-putih dapat kembali berkibar. Aku sendiri juga menangis bahagia.
Perjuangan kami tadi tidak sia-sia. Sang Merah-putih, harga diri bangsa ini,
dapat kembali berkibar.
Namun,saat hendak turun, Hariyono di atas sana
terserempet peluru di kepalanya. Ia terjatuh dari atas. Begitu pula Koesno.
Rupanya para tentara Belanda tadi sudah keluar dari dalam hotel dan sedang
menembaki para pemuda di atas. Para rakyat yang tadinya sudah menyimpan amarah,
kini kembali tersulut emosi. Mereka beramai-ramai menyerang para tentara itu.
Mereka kelimpungan, jumlahnya tak sebanding. Kami beramai-ramai menyerang
mereka.
“MERDEKA
ATAU MATI!!” Kata-kata itu berdengung dimana-mana.
***
Akhirnya,
tak butuh waktu lama. Kami menguasai keadaan. Setelah membereska para tentara
londo itu, kini para pemuda berusaha menangkat tubuh Hariyono dan Koesno tadi
untuk di bawa ke rumah sakit Simpang di dekat sini. Untung saja mereka berdua
tidak terluka parah. Tidak terkena peluru, hanya jatuh dari atas. Para pemuda
lainnya juga masuk ke dalam hotel untuk membawa jasad Sidik atas perintahku.
“Sidik?”
Aku melihatnya tertatih-tatih dibopong para pemuda dari dalam.
Tak
di duga, ternyata Sidik masih hidup. Namun terlihat jelas ia sudah sekarat. Aku
sendiri tidak yakin ia masih bisa bertahan. Melihat luka sabetannya yang
mengeluarkan banyak sekali darah. Saat hendak dibawa, ia menghentikan
langkahnya. Ia melihat ke arahku dan tersenyum. Kemudian ia mendekat ke arah Hariyono.
“Cak Har, beritahukan
pada arek-arek Suroboyo,
perjuangan ini jangan sampai berhenti. Begitu juga dirimu. Merdeka!”
Hariyono
tertegun. Kemudian mengangguk mantap. Aku yang melihatnya pun ikut tersenyum. Sesaat
setelah mengucapkan hal tadi, Sidik pun gugur dengan meninggalkan semangat
juangnya pada para pemuda Surabaya lainnya.
Peristiwa hari ini tidak akan terlupa. Bukan hanya bendera merah-putih yang tetap berkibar, namun perjuangan kami sebagai rakyat, selamanya juga akan tetap berkibar sampai maut menjemput. Seperti yang telah Sidik lakukan. Terima kasih Sidik, dan para pejuang yang telah gugur lainnya. Perjuangan kalian akan kami teruskan. Percayalah, batinku.
Comments
Post a Comment