PETANG DI TERAS SEPERTI BIASA
(sebuah cerpen, diilhami dari peristiwa demonstrasi kelam di negeri ini pada masa lalu)
Di selasar teras rumah bergaya klasik, seorang wanita tua terlihat duduk diam sembari memangku sebuah bingkai foto dengan erat. Pandangannya terarah lurus ke arah jalanan di depan. Tatapannya kosong, namun setitik sorot harap tetap bisa dikenali dari lekatnya ia memandang jalan di ujung sana. Surya semakin jatuh ke barat. begitu juga, genggamannya pada bingkai tersebut ikut semakin erat di dekap.
Bingkai
cokelat kayu itu masih terlihat bagus. Tentu saja, karena memang telah sering
diganti saat dirasa berubah usang. Namun sayang, selembar foto di dalamnya tak
sama bisa tergantikannya. Banyaknya bercak kuning di sana-sini, menandakan
sudah betapa tuanya potret tersebut. Di dalamnya, terlukis potret lelaki muda
yang tengah berdiri gagah di depan sebuah gedung kampus. Wajahnya terlihat
sumringah. Tentu saja. Siapa yang tidak senang bisa melanjutkan pendidikan
sampai setinggi itu pada masanya?
…
Pagi itu
dimulai seperti biasa. Emak menyiapkan sarapan, dan Rara kecil menonton TV di
ruang tengah dengan setengah kantuknya. Dari arah kamar belakang, Hermawan atau
yang lebih akrab dipanggil Awan berlari tergesa menuju pintu. Duh, gagahnya
si sulung. Batin emak setiap melihat Awan berangkat kuliah ke kampusnya.
Bangga sekali rasanya melihat putranya bisa jadi mahasiswa.
“Awan pergi
dulu, Mak!” Sahut Awan.
“Rara! Jangan
lupa pr-nya dibawa ke sekolah yang Mas ajar tadi malam!” Sambungnya lagi.
Si kecil yang
diajak omong hanya berdeham acuh masih terkantuk depan TV. Emak, dari pintu
dapur membalas salam sambil tersenyum kecil. Memaklumi tingkah putranya yang
selalu grasah-grusuh tak sempat menunggu sarapan. Awan, selalu saja
rajin dan semangat kalau sudah urusan kampusnya.
…
“Nilai mata
uang negeri mengalami anjlok secara drastis— diikuti tarif listrik dan minyak
bumi yang melonjak dalam waktu dekat— Masyarakat mulai mengkritisi kinerja
pemerintah.”
Suara siaran
dari TV cembung di ruang tengah mengisi rumah.
“Hari ini
pulang larut lagi, wan?”
“Iya, mak. Kan
sudah bilang kemarin.”
“Memang ada
apa lagi? Bukannya sudah musim libur di kampus, ya?”
Yang diajak
bicara hanya tersenyum. Kemudian menoleh ke
arah ruang tengah.
“Dengar. Mak
juga sudah sering dengar siaran di TV itu, kan. Urusan di negeri ini, memang sedang
kacau balau, mak!” Ucap Awan bertingkah serius.
Emak menatap
kawatir.
“Karena itu. Aku
harus tetap ke kampus, mak. Bertemu kawan-kawan untuk membahasnya. Demi negeri
ini,” sambung Awan dengan raut percaya diri.
“Tenang saja. Aku
pasti pulang petang nanti sebelum azan. Emak tunggu saja, ya. Sama seperti
biasanya.” Sambung Awan lantas pergi dan menghilang ke ujung jalan sana.
Meninggalkan Emak di teras rumah yang masih beraut cemas.
…
Cakrawala
mulai berubah dari jingga menuju kelam. Di ruang tengah, telepon rumah berbunyi
nyaring. Emak yang sejak tadi duduk risau di teras, segera berlari ke dalam.
“Mak. Hari ini
lagi-lagi aku tidak bisa pulang tepat waktu. jadi tidak usah menungguku. Masuk
saja dalam rumah sama Rara, ya.”
“Kenapa lagi, wan?
Memangnya tidak sempat pulang dulu?”
“Tidak bisa.
Ini memang perlu, mak. Banyak yang harus diurus sama kawan di sini. Demi negeri
kita juga. Jadi jangan menungguku.”
Belum sempat
menimpali, panggilan telah diputus. Sudah beberapa minggu ini Awan tak pernah
pulang petang lagi seperti janjinya biasanya. Emak menyimpan kesah dalam hati.
“Mas Awan
pulang petang ini, mak?” Rara yang sedari tadi sudah duduk di ruang tengah
mendengarkan, penasaran bertanya.
Emak
menggelengkan kepala lemah. Kemudian menyambung lembut. “Tapi nanti pasti pulang.”
…
Matahari belum
menunjukkan sinarnya. Namun pemuda itu sudah bersiap-siap pergi. Memang
biasanya ia rajin berangkat pagi, namun pagi ini lebih awal dari biasanya.
“Mak, kali ini
sepertinya aku tidak pulang. Ada gerakan aksi besar hari ini. Nanti malam aku
akan menginap sekalian di rumah kawan.”
“Ada apa toh,
wan. Memang harus ikut aksi?” Emak yang semingguan ini sudah jera telinganya
mendengarkan berita di siaran TV bertanya cemas.
“Tidak bisa
diselesaikan dengan baik-baik, wan? Kan bisa ajak mereka bicara atau tulis
surat saja.” Sambung Emak mencoba menahan Awan pergi.
“Tidak bisa,
Mak. Harus ada yang tetap turun jalan dan menyampaikan aspirasi secara vokal
dan keras.” Jelasnya lembut memahami perasaan Emak yang cemas.
“Besok sore
Awan pulang. Tunggu saja, ya. Seperti biasanya, Mak.” Awan tersenyum hangat.
“Awan pergi.”
Sambungnya kemudian menghilang bersama bayangnya di ujung jalan.
Esok hari
gerakan para pemuda dan mahasiswa dikabarkan akan mengalami titik puncak— Aksi
besar akan terjadi di banyak titik di ibu kota.
Suara penyiar
dari TV di ruang tengah kemarin kembali terngiang dalam pikiran Emak. Menambah
rasa cemasnya. Namun ia kembali optimis. Awan sudah bilang pasti akan pulang
besok. Jadi tidak ada yang perlu dikawatirkan. Emak selalu yakin pada Awan.
…
Subuh itu,
Emak menengok kamar Awan. Kasurnya kosong. Perasaannya sungguh tak enak. Namun
ia berpikir, putranya itu pasti tengah ketiduran di rumah kawannya. Sama
seperti yang ia bilang kemarin. Jadi tak mungkin ada apa-apa, toh. Nanti sore
ia akan menunggu di selasar rumah dan menyambut anaknya pulang. Sama seperti
biasa.
…
Mentari
semakin hilang ditelan langit senja. Wanita tua itu masih terduduk sendiri di
sana.
“Mak?
Lagi-lagi di sini.” Seorang wanita yang lebih muda dengan setelan rapi dan tas kerja
tersampir di bahu datang dari ujung jalan. Bertanya kawatir. Namun bukan sosok
ini yang ditunggunya sejak tadi.
“Ayo masuk ke
rumah mak. Sore. Lepas ini azan juga segera bunyi.”
“Tidak, ra.”
sang wanita tua yang dipanggil ibu menjawab dengan mata yang masih terpaku pada
jalanan.
“Kalau masmu
pulang nanti bagaimana? Kasian tak ada yang menyambutnya. Awan pasti lelah
pulang dari kampus. Mak akan menunggu, sama seperti biasa.”
…
Malam sudah
larut. Namun yang ditunggu tak kunjung tampak. Emak masih setia duduk di teras,
menunggu seperti janjinya. Namun, dari ruang tengah Rara tiba-tiba berteriak
keras. Emak berlari menyusul.
“Mak, wajah
mas ada di TV! Wajah mas ada di TV!”
Layar di
televisi menunjukkan laporan ricuhnya aksi demo hari itu. Dari sekian banyaknya
wajah pemuda, Emak dan Rara mengenali sosok Awan tersayang di tengah
hingar-bingar. ia terlihat luka-luka saat berjibaku dengan aparat bersama para
mahasiswa lain. Para pemuda semakin maju ingin merusak barikade. Para polisi
tak kuasa menahan tekanan. Kericuhan semakin menjadi. Beberapa polisi mulai
mengangkat selongsong, lantas melontarkan tembakan peringatan.
Rara ingat.
Suara senapan saat itu sangat keras. Namun, tangisan Emak pada hari itu jauh
lebih keras lagi.
Di layar TV,
situasi semakin tak terkendali. Sedang Awan sudah tenggelam tak dapat dikenali
di antara ricuhnya massa yang semakin menjadi.
…
Wanita muda
itu hanya membalas ucapan sosok di depannya dengan senyum getir. Kemudian mengambil
tempat pada kursi kosong di sebelahnya.
“Iya, mas Awan
pasti pulang.” Ucapnya dengan lembut ke arah si wanita tua.
“Tapi
sepertinya bukan petang ini lagi, mak. Jadi, mari kita masuk ke dalam. Besok
sore Emak bisa menunggunya lagi di teras sini, ya.” Rara berujar lembut menarik simpati.
Wanita tua itu
terdiam sejenak lalu mengangguk. Setuju untuk meninggalkan teras.
Iya. Mas Awan pasti pulang.
Tapi tepatnya bukan ke sini lagi, mak.
Ia sudah pulang ke tempat yang lebih baik di atas sana. Sejak petang
berpuluh tahun lalu.
Gumam Rara dalam hati sembari menuntun wanita tua itu masuk ke dalam
rumah. Meninggalkan teras dan langit petang di luar sana.
Comments
Post a Comment